Selasa, 10 Juni 2014

Katanya Pemilik Budaya..!, Nyatanya ...?

Kawasan karst Maros Pangkep ‘yang katanya’ kawasan karst terpanjang kedua setelah China dan didukung oleh keberadaan gua-gua yang memiliki nilai sejarah, ternyata memiliki sejumlah masalah dibalik kebesaran namanya itu. Entah mengapa, masalah yang terjadi justru mengarah ke konflik sosial masya-rakat setempat. Ketakutan akan ancaman yang tidak jelas darimana datangnya sampai kemalasan masya-rakat untuk berpartisipasi dalam pelestarian karst tersebut.
Masyarakat sekitar bahkan tidak pernah masuk ke Leang (sebutan lokal untuk gua) dengan alasan takut akan hukuman penjara dan hal-hal berbau mistis. Hal ini mengakibatkan pengetahuan masya-rakat tentang leang terbatas, mereka mendapatkan informasi tentang leang dari luar, dan juga pemelihara-an yang tidak melibatkan warga sekitar karena pemerintah terlalu posesif.
Kalau masalah merusak karst, justru ‘perusak’ berasal dari luar. Pengunjung yang cenderung meng-abaikan papan peringatan yang dipasang di depan situs dan melakukan kegiatan vandal hanya mendapatkan teguran.
Realita di lapangan me-nunjukkan adanya kendala sehingga undang-undang tidak dapat ter-laksana. Leang tersebut dijaga dengan menjadi alasan untuk menolak penambangan. Bagi mereka, leang tersebut menjadi benteng dari kegiatan penambangan mengancam keberadaan pemukiman warga dan leang padahal Berbagai kegiatan maupun penelitian telah dilakukan di wilayah tersebut. Menurut UU no 11 tahun 2010 tentang cagar budaya terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang peran serta masyarakat. Pada pasal 56 dijelaskan bahwa setiap orang dapat berperan serta melakukan perlindungan cagar budaya.

Rabu, 04 Juni 2014

Cagar Budaya

          Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. (UU No.11 tahun 2010, pasal 1 ayat 1). Benda cagar budaya tidak hanya penting bagi disiplin ilmu arkeologi, tetapi terdapat berbagai disiplin yang dapat melakukan analisis terhadapnya. Antropologi misalnya dapat melihat kaitan antara benda cagar budaya dengan kebudayaan sekarang.

                                             
                                               (salah satu contoh benda cagar budaya)



Dan berikut link UU Nomor 11 Tahun 2010 :

UU-11-2010

Pesta Laut, Tradisi Masyarakat Pesisir yang Masih Dilestarikan

(Sebuah Artikel Tentang Antropologi Maritim)

Pesta laut atau Nadran merupakan suatu tradisi masyarakat pesisir Nusantara yang setiap tahunnya selalu dilaksanakan oleh para nelayan. Tradisi Nadran ini juga merupakan salah satu bentuk kearifan lokal di Indonesia yang masih terjadi hingga saat ini. Biasanya, Nadran dilaksanakan pada awal bulan Syura. Nadran berasal dari kata nazar yang memiliki makna dalam agama islam, berarti pemenuhan janji. Nadran merupakan tradisi akuturasi dari ajaran Islam dan Hindu-Budha karena menggunakan sesajen seperti yang terdapat dalam ajaran Hindu-Budha. Tujuan dari Nadran sendiri adalah sebagai pengucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil tangkapan laut para nelayan selama ini. Selain itu, untuk memohon keselamatan selama para nelayan melaut agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.