Katanya Pemilik Budaya..!, Nyatanya ...?
Kawasan karst Maros
Pangkep ‘yang katanya’ kawasan karst terpanjang kedua setelah China dan
didukung oleh keberadaan gua-gua yang memiliki nilai sejarah, ternyata memiliki
sejumlah masalah dibalik kebesaran namanya itu. Entah mengapa, masalah yang
terjadi justru mengarah ke konflik sosial masya-rakat setempat. Ketakutan akan
ancaman yang tidak jelas darimana datangnya sampai kemalasan masya-rakat untuk
berpartisipasi dalam pelestarian karst tersebut.
Masyarakat sekitar
bahkan tidak pernah masuk ke Leang
(sebutan lokal untuk gua) dengan alasan takut akan hukuman penjara dan hal-hal
berbau mistis. Hal ini mengakibatkan pengetahuan masya-rakat tentang leang
terbatas, mereka mendapatkan informasi tentang leang dari luar, dan juga
pemelihara-an yang tidak melibatkan warga sekitar karena pemerintah terlalu
posesif.
Kalau masalah merusak
karst, justru ‘perusak’ berasal dari luar. Pengunjung yang cenderung meng-abaikan
papan peringatan yang dipasang di depan situs dan melakukan kegiatan vandal
hanya mendapatkan teguran.
Realita di lapangan me-nunjukkan
adanya kendala sehingga undang-undang tidak dapat ter-laksana. Leang tersebut
dijaga dengan menjadi alasan untuk menolak penambangan. Bagi mereka, leang
tersebut menjadi benteng dari kegiatan penambangan mengancam keberadaan
pemukiman warga dan leang padahal Berbagai kegiatan maupun penelitian telah
dilakukan di wilayah tersebut. Menurut UU no 11 tahun
2010 tentang cagar budaya terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang peran
serta masyarakat. Pada pasal 56 dijelaskan bahwa setiap orang dapat berperan
serta melakukan perlindungan cagar budaya.
Merujuk pada pasal ini, masyarakat memiliki hak untuk melakukan perlindungan terhadap cagar budaya, seperti penyelamatan, pengamanan, pemeliharaan, dan pemanfaatan. Namun, apa jadinya jika masyarakat dibatasi, misalnya dengan ancaman-ancaman penjara? Hak mereka untuk berperan dalam pelestarian karst sangat tidak jelas dan ketidaktahuan masyarakat juga menambah ironi dalam masyarakat. Nilai budaya yang ada di karst tersebut (tinggalan arkeologis dan kepercayaan lokal) menjadi berkurang. Seharusnya masyarakat diberi kebebasan untuk memaknai leang sebagai mana kepercayaan lokalnya dan diberi penjelasan mengenai undang-undang cagar budaya agar terjadi kesepahaman mengenai pelestarian antara masyarakat dengan pemerintah terkait.
Merujuk pada pasal ini, masyarakat memiliki hak untuk melakukan perlindungan terhadap cagar budaya, seperti penyelamatan, pengamanan, pemeliharaan, dan pemanfaatan. Namun, apa jadinya jika masyarakat dibatasi, misalnya dengan ancaman-ancaman penjara? Hak mereka untuk berperan dalam pelestarian karst sangat tidak jelas dan ketidaktahuan masyarakat juga menambah ironi dalam masyarakat. Nilai budaya yang ada di karst tersebut (tinggalan arkeologis dan kepercayaan lokal) menjadi berkurang. Seharusnya masyarakat diberi kebebasan untuk memaknai leang sebagai mana kepercayaan lokalnya dan diberi penjelasan mengenai undang-undang cagar budaya agar terjadi kesepahaman mengenai pelestarian antara masyarakat dengan pemerintah terkait.
Seharusnya, tanggung
jawab untuk memberi pemahaman mengenai nilai penting budaya, selain tokoh-tokoh
masyarakat adalah kita, mahasiswa yang menggeluti ilmu-ilmu budaya. Salah satu
Tridharma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian pada masyarakat menjadi alasan
mengapa kita bersama-sama dengan masyarakat, mengabdi pada masyarakat, membuat
masyarakat sadar akan pentingnya nilai budaya dan sejarah dari karst Maros
Pangkep.
So,
sejauh manakah peran kita sebagai calon budayawan (katanya) bagi masyarakat ?
By : Team Survey PIAMI XV
By : Team Survey PIAMI XV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar